bendera

Sabtu, 20 April 2024    17:03 WIB
MEDIA INDONESIA NEWS

Mencerdaskan Kehidupan Bangsa

OPINI
 


Masker Dan Pandemi Covid-19


Tim Red,    29 Januari 2021,    08:33 WIB

Masker Dan Pandemi Covid-19
Gusdi Sastra

Oleh: Gusdi Sastra


Pagi itu cuaca mendung, suhu terasa dingin menusuk tulang, berbekal baju jaket tebal dan sarung tangan kain, saya turun dari pesawat garuda di bandara Nagoya Airport, Jepang. Bagaikan mimpi keluar dari pesawat lalu menghirup udara Jepang yang selama ini dalam angan-angan dan kini jadi kenyataan. Perlahan saya menuruni tangga satu persatu sambil melihat kiri kanan lalu berjalan ke  arah pemeriksaan imigrasi. Mata ini mecari bacaan apa yang dapat dibaca, tidak beberapa waktu itu yang bertuliskan huruf latin dan lebih banyak huruf kanji. Lalu berpapasan dengan banyak orang yang bagi saya jadi pertanyaan besar waktu itu, kenapa banyak orang memakai masker yang terpasang rapi di mulutnya? Itulah awal saya melihat banyak orang bermasker di tempat terbuka ketika udara dingin mulai menusuk perlahan sepanjang hidup saya.

Akhir Oktober waktu itu di tahun 1999 untuk pertama kali saya akan menetap beberapa lama di negeri 4 musim ini, tepatnya di Gifu, Jepang, diawali dengan perubahan akhir musim gugur dan awal musim dingin. Diam-diam saya berpikir, mungkin masker adalah tradisi orang Jepang yang dipakai di tempat terbuka di akhir bulan Oktober, tetapi kenapa tidak semua orang memakainya? Dengan begitu saya agak merasa tenang karena ada orang yang tidak pakai masker dan salah satunya saya orang asing pendatang baru di negeri sakura ini.

Berprofesi sebagai dosen, bila dapat kesempatan ke luar negeri adalah hal yang luar biasa membanggakan, termasuk saya waktu itu yang tidak banyak di antara sesama dosen dapat kesempatan ke luar negeri, apalagi Jepang. Waktu itu tujuan keberangkatanku ke Gifu University, Jepang adalah mengisi kesempatan beasiswa Monbushi sebagai research student (kenkyusei)  selama 18 bulan di bidang linguistik, sekalian bisa mendampingi istri yang tengah melanjutkan program doktornya (di bidang kimia) sehingga kami bisa berkumpul bersama anak-anak yang masih usia balita di negeri orang yang punya teknologi dan budaya yang amat diidamkan banyak orang waktu itu sampai sekarang. Kemudian pada tahun 2011-2012 kembali ke Jepang lagi untuk menjadi dosen tamu di Wako University, Tokyo.  Itulah alasan sedikit saya tinggal di Jepang dan kali ini akan coba berbagi cerita sedikit tentang masker, yaitu suatu benda kain yang terpasang di mulut disangkutkan ke telinga yang tidak asing bagi siapapun saat ini di dunia mana saja. Masker kini menjadi benda penting yang harus ada dipunyai bila orang ke luar dari rumah sejak pandemi covid-19 melanda. Berikut ini kita coba melihat bagaimana perilaku manusia pemakainya di beberapa negara yang pernah saya kebetulan tinggal di sana, yaitu Jepang, Malaysia, dan Jerman, tentu saja juga di tempat saya tinggal sekarang ini yaitu Padang, Indonesia, baik pada masa dulu sebelum pandemi dan sejak pandemi covid-19 ini.


Kembali pada pengalaman pertama melihat orang ramai memakai masker di awal musim dingin di Jepang, setelah saya tinggal beberapa bulan di sana, ternyata masyarakatnya memakai masker adalah untuk menghindari terjadinya flu (kaze) karena di saat dingin virus ini mudah masuk ke tubuh manusia melalui pernafasan mulut dan hidung. Selain terbiasa memakai masker di musim gugur dan musim dingin, orang Jepang terbiasa memakai masker apabila dalam keadaan tidak sehat dan harus bertemu dengan orang lain, tidak saja ke luar rumah tapi juga dalam rumah sendiri sehingga keluarga tidak tertular dengan rasa sakit yang sedang dirasakannya. Di samping itu, saya juga melihat orang Jepang sudah biasa memakai masker pada saat bekerja yang udaranya tercemar oleh debu dan asap. Dengan demikian masker bukanlah benda asing oleh orang Jepang sudah sejak lama, tidak saja biasa digunakan oleh orang dewasa dan manula, tetapi juga oleh anak-anak yang sudah diperkenalkan sejak dari sekolah taman kanan-kanak dan sekolah dasar. Di setiap supermarket dan toko sehari-hari, mudah didapatkan masker dengan harga yang sangat terjangkau.

Sebagai orang asing yang baru datang ke Jepang waktu itu, saya belum terbiasa memakai masker, walaupun flu sudah mulai langsung dirasakan pada minggu-minggu pertama karena perubahan cuaca dari hangat di Indonesia langsung ke akhir musim gugur dan awal musim dingin di Jepang, dan kebetulan pula kota Gifu merupakan daerah yang termasuk tinggi dengan suhu lebih dingin dari kota lain. Hidung mulai tersumbat dan bersin-bersin. Saya disuruh memakai masker oleh istri bila keluar rumah, namun karena belum terbiasa maka kadang tidak saya pakai karena saya kira tubuh saya akan menyesuaikan sendiri dengan cuaca di negeri ini. Akhirnya flu menjadi bagian yang melekat pada diri saya sejak kedatangan sampai masuk musim panas di bulan Juli. Kawan-kawan di kampus selalu menyuruh saya memakai masker, baik di luar maupun di dalam ruangan katanya, namun karena saya “tangka” (tidak patuh) juga karena merasa tidak bebas menghirup udara dan tidak biasa, akhirnya saya sering buka tutup masker kecuali di puncak musim dingin ketika salju sudah turun, maka baru masker tidak saya buka lagi terutama saat di luar ruangan dari kampus ke rumah atau juga dari rumah ke sekolah anak. Di dalam ruangan saya buka walaupun orang Jepang menyarankan agar saya tetap pakai masker di dalam dan di luar ruangan karena menganggap saya pengidap flu permanen. Andai pada masa itu sudah saya kenal covid-19, tentu saya akan patuh memakai masker ke mana saja apalagi ke tempat di mana saya bertemu dan berkomunikasi dengan orang lain. Waktu itu alasan sakit flu saya tidak menganggap penting memakai masker, padahal orang Jepang sendiri banyak memakai masker saya lihat, tidak saja di tempat terbuka, tetapi juga dalam kereta dan bus, mereka sangat sadar bahwa flu adalah penyakit menular dan mereka tidak mau orang lain sakit gara-gara dirinya pembawa flu. Warna masker waktu itu standar saja saya lihat yaitu putih dan biru muda yang sama dengan masker yang direkomendasi oleh dinas kesehatan (masker bedah). Sekarang saja sejak covid-19 ada masker yang berwarna-warni, dari dasar kain yang berbeda, dan bahkan ada juga yang bermotif serta berjahit bordir berbagai rupa sebagai wujud dari kreativitas manusia, apalagi dipakai oleh calon penganten dan keluarganya di saat pesta, masker kini sudah jadi barang biasa dan benda mahal ketika digunakan untuk pernikahan.

Bagaimana pula pengalaman tentang masker sebelum pandemi covid-19 yang saya alami di negara lain di mana saya pernah tinggal cukup lama, yaitu di Malaysia selama 3 tahun dan di Jerman selama 1 th. Di Malaysia, saya juga jarang pernah bertemu/melihat orang pakai masker di ruang terbuka. Satu dua orang bila bertemu dengan para pekerja kebersihan di tempat umum atau pekerja bangunan di suatu proyek bangunan, maka barulah saya melihat orang memakai masker. Masih lumayan dibandingkan dengan para pekerja yang sama dengan di Indonesia, di Malaysia lebih banyak saya temukan orang memakai masker, dengan tipe masker yang sama dengan masker kesehatan, sedangkan di Indonesia tidak saya temukan para pekerja kebersihan dan pekerja bangunan yang memakai masker di tempat kerjanya, kecuali di masa pandemi sekarang sudah mudah untuk melihat mereka memakai masker, apalagi di luar ruangan.

Berbeda halnya dengan di Jerman, pada musim dingin juga tidak saya lihat banyak orang memakai masker, kecuali orang tersebut masuk angin atau mendapat flu berat. Walaupun demikian, kesadaran mereka untuk tidak menyebarkan flu pada orang lain cukup tinggi, di mana mereka tidak mau berkomunikasi dengan kita apabila mereka dalam keadaan tidak enak badan. Bila ditemukan orang sudah memakai masker, maka pertanda ia sudah dalam keadaan sakit dan biasanya mereka tidak berpergian jika tidak penting. Bagi orang Jerman faktor tatap muka dalam berkomunikasi sepertinya lebih diutamakan, sehingga bila sakit flu maka mereka menghindar untuk berkomunikasi langsung, namun pemakai masker di musim dingin mulai semakin ramai terutama bila suhu sudah di bawah 100C terutama bila bepergian ke luar ruangan. Sekarang ini sejak masa covid saya lihat di televisi, hampir seluruh dunia orang memakai masker bila di luar ruangan dan dalam ruangan terutama bila tidak bersama keluarga sendiri. Jika dilihat memakai masker bagi mereka bukanlah sesuatu beban yang berat, karena kesadaran akan kesehatan dan kepedulian kepada orang lain sudah cukup tinggi dan sudah terbiasa di negara maju seperti Jerman.

Covid-19 belum berakhir, di kota saya di Indonesia, Padang, kesadaran pemakaian masker saya lihat masih belum 80 persen. Banyak di antara masyarakat masih enggan memakainya dengan alasan tidak leluasa berbicara dan menganggap bila pakai masker, maka bakteri akan terhirup kembali ke tubuh sendiri. Di antara orang yang menjawab seperti itu adalah para tukang, penjual jajanan jalan, dan para remaja pengangguran. Penelitian secara ilmiah belum saya temukan tentang pengguna masker di kota ini, namun dari pengamatan selintas masih banyak terlihat di tempat keramaian orang yang tidak memakai masker, walaupun harga masker sebenarnya tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak mempunyai masker sekarang ini lagi. Banyak masker yang dapat dicuci dan masker produk kesehatanpun harganya sudah terjangkau saat ini, tetapi masyarakat belum 100 persen saya lihat memakai masker di luar ruangan terutama di tempat keramaian.

Pemakaian masker di tempat ibadah saya lihat sudah lebih tertib, karena setiap tempat ibadah membuat pengumuman bahwa yang tidak pakai masker tidak dibenarkan beribadah di tempat tersebut. Setiap waktu shalat para Jemaah sudah hampir 100 persen memakai masker pada masa pandemik terutama ketika grafik terpapar masih tinggi. Namun terakhir ini, sudah terlihat ada jamaah yang tidak pakai masker karena jemaah singgah, bukan penduduk setempat. Akhir-akhir ini ada isu yang disampaikan kepada masyarakat oleh sebagian ulama yang keakuratan dasarnya tidak dapat dibuktikan, yaitu larangan memakai masker menutupi mulut dan hidung (muka) pada saat shalat. Maka ditemukanlah jamaah yang pakai masker tapi hanya menutupi dagu saja pada saat shalat. Selesai shalat akan ditariknya masker kembali menutupi mulut dan hidung. Hal ini cukup aneh dalam pandangan saya, bukankah yang dilarang itu adalah kening waktu sujud yang tidak menyentuh sajaddah? Bukan mulut dan hidung.

Jadi tidak ada larangan menutup mulut dan hidung dalam shalat termasuk juga ketika sujud. Bila waktu shalat, ada OTG yang batuk, bersih, atau membaca ayat pada saat shalat, lalu menyebar ke jamaah di sebelahnya, jadi untuk apa guna masker digantung di dagu? Bila hal itu dilakukan oleh imam, saya kira masuk akal, karena bacaan imam harus jelas didengar oleh makmum. Atau seorang uztad dan uztazah sedang berceramah dalam masjid, maka membuka mulut dengan menarik masker ke dagu mungkin layak dilakukan, asal uztad atau uztazah tersebut tidak terlalu dekat posisinya dengan jamaah. Memakai masker di masjid mungkin ke depan akan diteruskan oleh sebagian orang, karena ketika shalat berjamaan bila ada bau yang tidak sedap keluar dari mulut jemaah lain yang disebelah pada waktu membaca ayat atau mengucapkan “Ammin” setelah imam membaca Al-fatiha, maka tertutupi oleh adanya masker bau tersebut.

Begitu juga seorang guru yang bicara di depan kelas, jika sekarang sebagian sudah offline pembelajaran, maka masker masih perlu difungsikan kegunaannya untuk berjaga-jaga dari penyebaran covid-19 dari orang tanpa gejala (OTG) yang masih harus diperhatikan. Murid yang duduk di bagian paling depan sebaiknya dikosongkan dan guru harus menjaga jarak dengan muridnya ketika berbicara dalam proses mengajar. Juga jemaah yang duduk persis di depan mimbar tempat uztad/uztazah berbicara tentu perlu dijauhkan jaraknya. Dengan demikian fungsi masker sangat diperlukan dalam menyikapi protokoler kesehatan di masa pandemi.

Dalam konteks pandemi covid-19 ini, WHO menganjurkan semua orang menggunakan masker dan tetap harus menghindari kerumunan, menjaga jarak fisik minimal 1 meter dengan orang lain terutama dengan mereka yang mengalami gejala batuk, flu, bersin dan lain-lain. Oleh karena itu, kesadaran setiap individu akan pentingnya pemakaian masker masih harus terus ditingkatkan di disebarluaskan, apalagi ke daerah-daerah yang masih belum percaya adanya pandemic covid-19 ini.

Diharapkan pada semua orang untuk mengtahui dan menyadari bahwa pemakaian masker tidak hanya untuk ketika seseorang mendapat flu saja, tetapi di masa pandemi covid-19 ini peran masker sangatlah penting. Covid-19 tidak dapat dilihat dan tidak bisa diketahui siapa yang membawa virus tersebut. Oleh karena itu, memakai masker menjadi salah satu cara efektif mencegah penularan. Seperti disampaikan oleh tenaga kesehatan, bahwa ada 3 jenis masker yaitu masker kain, masker bedah, dan masker N95. Bagi masyarakat yang bukan merupakan tenaga medis dianjurkan untuk menggunakan masker kain. Masker kain yang direkomendasikan adalah masker yang memiliki 3 lapisan kain. Lapisan pertama adalah lapisan kain hidrofilik seperti katun, kemudian dilapisi oleh kain yang bisa mendukung viltrasi lebih optimal. Untuk lapisan kedua ini bisa juga menggunakan katun atau polyester, sedangkan lapisan ketiga atau bagian masker paling luar menggunakan lapisan hidrofobik atau bersifat anti air seperti terbuat dari polypropylene. Masker kain jenis ini dapat dicuci dan dipakai kembali. Oleh karena itu penggunaan dan pencuciannya haruslah tepat. Masker kain ini dapat dipakai maksimal hanya 4 jam dan harus ganti dengan masker baru dan bersih. Apabila masker yang dipakai basah atau lembab harus segera diganti. Pemerintah pun menganjurkan masyarakat untuk membawa beberapa masker untuk beraktivitas. Penggunaan maskerpun harus tepat seperti menutup hidung dan mulut. Cara melepas masker cukup dengan menarik bagian tali dan langsung disimpan ke kantong kertas atau plastik tertutup guna mencegah penyebaran virus ke barang di sekitarnya. Tetapi dengan banyaknya masker bedah dengan harga yang terjangkau sekarang ini, maka pemakaian masker bedah ini juga lebih baik daripada tidak pakai masker sama sekali.

Penulis adalah Dosen FIB Universitas Andalas Sumatera Barat


banner
NASIONAL
img
Sabtu, 20 April 2024
Afrika - Dalam rangka mempererat silaturahmi antar kontingen Satgas di Minusca, Dansatgas Kizi TNI Konga XXXVII-J Minusca Car Letkol Czi Ibnu Muntaha, M.Han menerima Courtesy Call Komandan Kontingen Cambodian
img
Sabtu, 20 April 2024
Sudan - Personel Kontingen Garuda TNI yang tergabung dalam Satgas Military Observers (Milobs) United Nations Mission In South Sudan (UNMISS) memberikan bantuan kemanusiaan berupa bahan makanan untuk warga, bertempat
img
Sabtu, 20 April 2024
Bali - Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto menghadiri Rapat Koordinasi Panitia Nasional terkait kesiapan Indonesia sebagai tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) World Water Forum (WWF) ke-10, bertempat di
img
Sabtu, 20 April 2024
Papua - Pasukan TNI dari Koops Habema berhasil melumpuhkan dan menyita barang bukti milik OPM di Kabupaten Nduga, Provinsi Papua Pegunungan, Jumat (19/4/2024).   Organisasi Papua Merdeka (OPM), khususnya Kodap III/Ndugama pimpinan
img
Jumat, 19 April 2024
Jakarta - Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto menghadiri Rapat Koordinasi membahas perkembangan situasi di Papua dan Rapat Koordinasi membahas penyelesaian masalah lahan antara Pemda Sumatera Selatan dan TNI AU
img
Jumat, 19 April 2024
Belu - Universitas Pertahanan Republik Indonesia (Unhan RI) Fakultas Vokasi Logistik Militer (FVLM)  Belu melakukan silahturahmi dan kerjasama dan untuk perkuat sinergi dengan Dinas Perhutanan Atambua.  Untuk menyambung silaturahmi dan

MEDIA INDONESIA NEWS