Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
Jakarta-Mediaindonesianews.com: Pengiat Anti Korupsi Bali kembali mendatangi Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jalan Kuningan Persada Kav. K4 Jakarta Selatan, kedatangannya kali ini untuk melengkapi aduannya terkait dugaan tindak pidana korupsi Alat Pelindung Diri (APD) di Kementerian Kesehatan tahun 2020.
“kehadiran saya kali ini untuk melengkapi terkait informasi kami nomor 2024-A-04272 tertaggal 5 Desember 2024 tentang dugaan tindak pidana korupsi APD di Kementerian Kesehatan tahun 2020 yang melibatkan anggota DPR RI atas berinisial GSL dari Fraksi Golkar Dapil Bali” kata Gede Angastia, di Jakarta, Rabu (8/1)
Lebih lanjut pria yang akrab disapa Anggas ini menjelaskan bahwa berdasarkan proses yang telah dilakukan mulai dari penyidikan serta berdasarkan kecukupan alat bukti KPK juga telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka yaitu BS selaku Pejabat Pembuat Komitmen pada Pusat Krisis Kesehatan Kementerian RI, SW selaku Direktur Utama PT. Energi Kita Indonesia (PT. EKI) dan AT selaku Direktur Utama PT. Permana Putra Mandiri (PT. PPM).
“KPK juga telah melakukan penahanan terhadap saudara AT untuk 20 hari pertama terhitung sejak tanggal 1 November sampai 20 November 2024 di Rutan Cabang Kelas 1 Jakarta Timur Cabang Rumah Tahanan KPK Gedung ACLC atau Gedung C1. Sebelumnya KPK juga telah melakukan penahanan terhadap dua tersangka lainnya, yaitu BS dan SW terhitung sejak tanggal 3 Oktober 2024 dan telah diperpanjang per tanggal 17 Oktober 2024.” Paparnya.
Menurut Anggas Dirut PT EKI yang ditersangkakan oleh KPK, hanya sebagai Operator, karena sesuai persetujuan perubahan anggaran dasar dan pemberitahuan perubahan data perseroan PT. EKI mencatatkan pada Notaris Miryani Usman, SH nomor Akta 47 tertanggal 30 Maret 2020 dengan kedudukan perseroan di Gedung Graha Mandiri Lt. 28 Jl. Imam Bonjol No. 61 RT. 008/004, Kelurahan Menteng, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat.
“Bahwa dalam akte Nomor 47 susunan pengurus dan pemegang saham PT. EKI antara lain AS menjabat sebagai Komisaris, AM, FFM, GSL menjabat sebagai Komisaris, PT. Handal Selaras Pratama, SW sebagai Direktur dan W.” Katanya
Anggas menambahkan bahwa saat pencatatan susunan pengurus PT. EKI tersebut GSL menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi VI DPR RI sebelum digantikan oleh anaknya berinisial ABPL pada bulan Juni 2020.
“berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dimana dalam pasal 236 angka (2) “anggota DPR dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokad atau pengacara, notaris dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan wewenang dan tugas DPR serta hak sebagai Anggota DPR” dan angka (3) “Anggota DPR dilarang melakukan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme” jelasnya.
Anggas tak yakin bahwa dana yang di Korupsi sebesar Rp.319 Milyar dinikmati hanya oleh seorang SW yang menjabat sebagai Direktur, dimana dalam akte Perusahaan PT EKI pada bulan Juni 2020 susunan pemegang saham perusahaan diantaranya, FFM menjabat sebagai Komisaris Utama, ABPL sebagai Komisaris.
“kami menduga adanya tokoh-tokoh Politik ini yang memuluskan PT EKI mendapat konsesi pada proyek Pengadaan APD Covid-19 karena perusahaan tersebut tidak memiliki kopetensi atau KBLI dalam pengadaan APD dan KPK harus mengusut aliran dana tunai dan non-tunai dari PT EKI kepada tokoh-tokoh Politik agar keadilan dan transparansi dalam kasus pengadaan APD Covid-19 terbuka.” Ungkapnya.
Anggas juga menekankan bahwa Komisi VI DPR RI salah satunya membidangi BUMN dan Perdagangan, dimana dalam rangka impor APD, saat Covid-19 melanda hanya BUMN lah yang diberikan kewenakan melaksanakan impor APD selanjutnya BUMD di wajibkan bekerjasama dengan menunjuk partner swasta yang memenuhi syarat sebagai distributor atau penyalur APD impor tersebut.
“Dalam kapasitas sebagai Pimpinan Komisi VI yang juga menjabat sebagai komisaris PT. EKI, GSL diduga mempunyai peran penting, meski dalam daftar KBLI perusahaan tersebut diduga tidak kompeten atau memenuhi syarat ditunjuk sebagai distributor APD hal ini juga berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan dimana dalam pengadaan tersebut Negara mengalami kerugian sebesar Rp.319 Milyar” pungkasnya.***