Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
Jakarta-Mediaindonesianews.com: Tingkat literasi di Indonesia dinilai masih kurang memuaskan, hal ini harus menjadi perhatian serius oleh pihak-pihak terkait. Merujuk pada data Program for International Student Assessment (PISA) yang diselenggarakan oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), Indonesia menjadi bagian dari 10 negara yang memiliki tingkat literasi rendah di tahun 2019, di peringkat 62 dari 70 negara. Hal ini dipertanyakan Dr. Wilson Rajagukguk, MSi., MA kenapa Indonesia tertinggal dalam hal literasi.
“Kita perhatikan kerumunan sosial kita, senang melihat-lihat gadget dan kurang membaca dan budaya kita juga budaya berbicara, kurang budaya menulis. Kita kehilangan banyak warisan budaya yang luar biasa berharga karena tidak menuliskannya.
Faktor lain adalah luasnya cakupan kependudukan Indonesia. Melakukan pendidikan literasi dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote memerlukan upaya yang luar biasa besar serta waktu panjang. Usaha dan kerja keras yang tidak mudah. Dampak dari kedua hal itu adalah rendahnya literasi Indonesia" papar Praktisi Dosen Program Studi Magister Manajemen Program Pascasarjana Universitas Kristen Indonesia, Jakarta Kamis (20/4).
Menurut Wilson, Angka buta huruf penduduk Indonesia berumur 45 tahun ke atas (2022) sebesar 8,48%. Penduduk yang tamat Sekolah Menengah Umum/Atas + berumur 15 tahun ke atas sebesar 40,12 % pada tahun 2022. Angka Partisipasi Sekolah (APS) penduduk berumur 19-14 tahun (2022) sebesar 26,46%. Pada tahun 1965 Hong Kong, Korea, dan Singapura telah mencapai angka 100% dalam Pendidikan SD. Pada tahun 1987 Angka Partisipasi SMP di Korea sudah mencapai 88% (meningkat dari 35% tahun 1965). Sementara Indonesia pada tahun 1987 baru mencapai angka 46%.
“Pemerintah dan bangsa Indonesia sudah bekerja keras dan diperlukan usaha terus menerus dan lebih keras lagi meningkatkan literasi ini,” katanya.
Lebih lanjut Wilson menjelaskan bahwa, terobosan meningkatkan literasi dimulai dari sekolah formal dan budaya harus lebih bekerja keras menjangkau seluruh penduduk Indonesia. Menyediakan internet dengan harga terjangkau dan juga membangun perpustakaan yang memadai di seluruh Indonesia. Apakah perpustakaan sekolah atau perpustakaan Desa. Harga buku di Indonesia termasuk mahal. Kita dapat meniru India dengan upaya pemerintah menyediakan buku yang bermutu dan harganya terjangkau. Kita mendorong pemerintah menyediakan jangkauan internet mencapai seluruh lapisan masyarakat. Pemerintah sudah mempunyai program sambungan internet melaui PLN dan upaya ini perlu didukung agar seiring dengan sambungan listrik, internet juga dapat tersambung. PLN perlu lebih serius melaksanakan program ini serta selanjutnya adalah membangun institusi pendidikan yang baik. Menjadi guru/dosen menjadi karir favorit di Indonesia karena guru/dosen adalah mesin pertumbuhan literasi yang utama.
“Indonesia harus meningkatkan pembangunan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Literasi bangsa ini dibangun melalui tenaga pendidik yang baik. Upaya selanjutnya adalah membangun budaya membaca pada seluruh lapisan masyarakat,” ungkapnya.
Untuk membangun literasi lanjut Wilson, sesungguhnya tidak hanya terletak pada minat baca. Minat baca seharusnya berbuah. Buah dari minat baca adalah kemampuan menulis. Minat baca itu merupakan variabel antara. Ultimate variablenya adalah output literasi berupa publikasi karya ilmiah. Output karya ilmiah Indonesia masih rendah.
“Saya setuju dengan membangun kesadaran, akan tetapi setelah sadar what next. Yaitu menulis. Lembaga pendidikan kita perlu semakin banyak melakukan pekerjaan pembelajaran bagi siswa menulis dan menyampaikan ide melalui presentasi. Saya mendukung pemerintah dengan menerapkan kewajiban mensyaratkan publikasi bagi mahasiswa S1 sampai S3 jika mau lulus dari sebuah PT. Keterbasan kita terletak pada kemauan dan kerelaan memulis sebagai output dari literasi itu. Kita lakukan dari sisi demand side. Menulis dan menghasilkan karya ilmiah yang bermutu dan baik. Kewajiban ini diharapkan mempunyai unsur memaksa dalam peningkatan literasi. Sebaiknya soal-soal ujian sejak SMP bukan lagi dengan jenis soal (pilihan ganda) tetapi dari kemampuan menulis, mengemukan pendapat, dan berargumen. Hal ini akan memaksa masyarakat membaca,” pungkasnya. (lian)