Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
Jakarta-mediaindonesianews.com: Aspek Pencegahan korupsi adalah suatu pekerjaan yang berat untuk dilakukan. Pekerjaan memberantas korupsi harus dilakukan secara bersama-sama dan membutuhkan komitmen nyata dari pimpinan tertinggi. Selain itu, strategi pencegahan korupsi diperlukan, agar bahaya korupsi dapat ditanggulangi dan celahnya dapat ditutup. Dalam Teori Segitiga Fraud (Fraud Triangle Theory) kecenderungan seseorang melakukan korupsi disebabkan tiga faktor dalam teori ini, yaitu pressure atau dorongan, opportunity atau peluang, dan rationalization atau pembenaran. Kecenderungan orang melakukan korupsi terjadi ketika ada motif, rasionalisasi yang berasal dari masing-masing individu dan ada kesempatan yang berkaitan dengan sistem yang memiliki celah korupsi.
Strategi pencegahan korupsi yang dapat digunakan, yaitu intervensi dengan memperbaiki sistem dan memperbaiki perilaku pegawainya. Tiga tahapan strategi yang dapat digunakan. Pertama, strategi jangka pendek dengan memberikan arahan dalam upaya pencegahan. Kedua, strategi menengah berupa perbaikan sistem untuk menutup celah korupsi. Ketiga, strategi jangka panjang dengan mengubah budaya.
"Upaya pencegahan korupsi tidak cukup dengan perbaikan sistem, namun harus juga dilakukan melalui perbaikan perilaku dari setiap Aparatur Sipil Negara," kata Rahmat Saputra SH MH Peneliti senior Pusat kajian publik dan hukum (puskapkum) kepada Mediaindonesianews.com Minggu (25/10).
Dijelaskan lawyer ini, pemberantasan korupsi tidak cukup hanya dengan tindakan represif seperti penyelesaian hukum melalui pengadilan tindak pidana korupsi, akan tetapi memerlukan semua komponen bangsa terkait untuk melakukan kontribusinya dalam memberantas perilaku korupsi dan menurut berbagai kalangan, upaya pencegahan dan penghapusan korupsi yang lebih efektif adalah yang bersifat preventif, termasuk dan terutama melalui pendidikan,ungkapnya.
Kata Rahmat, Pasca terbitnya UU No.19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) membawa perubahan terhadap kinerja KPK dibanding KPK sebelum berlakunya UU tersebut. Independensi KPK diragukan, seperti termuat dalam Pasal 1 angka (6) UU Nomor 19 Tahun 2019 yang mengatur pegawai KPK adalah aparatur sipil negara (ASN). Dia menilai, ada sejumlah hambatan dalam pemberantasan korupsi jika status pegawai KPK berubah menjadi ASN karena bersifat birokratis dan mudah dikooptasi kepentingan politik (kekuasaan). Pasal 37B ayat (1) huruf b UU Nomor 19 Tahun 2019 yang mengatur tindakan penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan terlebih dulu harus mendapatkan izin dari Dewan Pengawas.
"Perlu desain UU KPK yang baru yang dapat menjanjikan optimalisasi pemberantasan korupsi di Indonesia. Terkait dengan tuntutan kepada Presiden mengeluarkan Perpu terkait UU KPK memang terletak ditangan presiden, Penerapan Perpu yang dilakukan oleh Presiden berdasarkan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011) yang berbunyi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-Undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, mungkin sulit terealisasi," pungkasnya. (lian)