Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
Jakarta-mediaindonesianews.com: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa kembali menggelar kegiatan kebahasaan dan kesastraan pada setiap bulan Oktober, yaitu Bulan Bahasa dan Sastra.
Teguh Prasetyo, Dosen Bahasa Indonesia, Universitas Kristen Indonesia (UKI) mengatakan, bulan bahasa yang digagas pada bulan Oktober salah satunya karena merangkap peringatan awal deklarasi bahasa Indonesia sebagai identitas dan persatuan bangsa. Tentunya, menindaklanjuti peran bahasa yang amat penting.
“bulan bahasa tidak hanya sebagai peringatan tapi juga sebagai salah satu agenda pelestarian dan pengembangan budaya (baca; strategi budaya) bangsa, dengan begitu akan memperkuat kesadaran kebangsaan, mulai kesadaran identitas dan persatuan bangsa.” Katanya, Sabtu (6/11)
Menurut Teguh, Bahasa menjadi elemen penting sekaligus monumen untuk mengingat apa dan siapa Indonesia itu. Teguh menegaskan, kalau tanpa bahasa identitas, makna identitas bangsa pasti limbung. Acara dan aktivitas berkait bulan bahasa itu tidak boleh hanya jadi simbol yang mengerak dan usang di meja-meja akademis dan pengamat saja. Karena sejatinya, wawasan bahasa bukan milik mereka para pemerhati dan pemelajar bahasa tapi seluruh rakyat.
“Kesadaran tentang identitas dan budaya (termasuk pelestarian dan pengembangan) juga melekat di benak seluruh elemen masyarakat. Bentuk acara seperti apa yang patut direalisasikan, itu tentunya kita pikirkan bersama, yang menampung keikutsertaan seluruh masyarakat. Bahkan tidak menutup untuk warga Negara asing yang ingin dan mau turut serta dalam berkesadaran berbahasa Indonesia tersebut,” ujarnya.
Lebih lanjut Teguh Prasetyo mengatakan bahwa, bentuk strategi budaya lewat bahasa memang harus kontekstual karena berkaitan dengan siapa saja yang hidup pada konteks zaman. Jika saat ini masih berada pada kondisi dan kebiasaan berbudaya baru karena pandemi, tentunya strategi budaya itu juga menyesuaikan.
“Diangkatnya tema tersebut juga tidak dimungkiri karena kondisi normal baru yang menimbulkan beberapa fenomena kebiasaan berbahasa yang baru juga.” jelas Teguh.
Masyarakat yang lebih banyak masuk ke realitas maya dari pada sebelumnya harus dipupuk kembali mengenai akar budayanya (dalam konteks ini melalui bahasa). Hal ini berkaitan dengan bahaya yang mungkin muncul karena rapuhnya batas kebangsaan di dunia maya.
“tentu banyak hal positif berkaitan akses ilmu dan wawasan dari luar. Namun demikian, ada potensi imperialisme budaya maupun apropriasi budaya jika kesadaran identitas dan bahasa tidak diperhatikan. Selain itu, menyadari bahasa sebagai wadah dalam berkomunikasi, kesadaran berbahasa yang baik juga menuntun pemahaman yang baik antar warga dalam hal bertukar informasi yang valid, sehingga meminimalisasi potensi perpecahan dan ketidakpercayaan” paparnya.
Terkait Trigatra bangun bahasa yang menjadi strategi budaya sejak lama Teguh menjelaskan, juga tentu menjadi agenda yang selalu dibawa dalam peringatan bulan bahasa. Pengutamaan bahasa Indonesia, seperti sudah disebut di atas sebagai pembangun kesadaran akan nasion Indonesia berikut juga budayaya. Pelestarian bahasa daerah juga menjadi bentuk perhatian mengingat semakin lama penutur asli bahasa daerah semakin berkurang. Kesadaran pelestarian bahasa daerah menjadi PR yang menurut saya perlu jadi agenda penting karena muatan lokal di sekolah saat ini didominasi pelajaran bahasa Asing, miris bukan?.
“Jadi, mengenal budaya global tanpa mengenal akar budaya itu seperti hidup sebagai sisifus yang tidak tahu kenapa ia harus mendorong batu ke puncak gunung, lalu dewa menggulingkan batu itu kembali ke lembah. Dan, penguasaan bahasa Asing tentunya perlu karena itu menjadi modal untuk memperkaya diri akan ilmu, budaya, dan kesempatan dari luar sana. Mengenai realiasasi kesadaran bahasa di sekolah, kita perlu evaluasi lagi bentuk dan implementasinya,” jelas Dosen Bahasa Indonesia, UKI ini.
Dari pengamatan Teguh, strategi budaya dalam konteks bahasa sejauh ini turun dari “atas” ke “bawah”. Diorganisasi pemerintah dan diikuti masyarakat. Untuk itu kata Teguh, mungkin perlu mengangkat sebuah momen di mana masyarakat sebagai pemegang bahasa menjadi subjek atas perilaku berbahasa dan berbudayanya sendiri. Menurutnya, pengangkatan isu bahasa Indonesia dan daerah sejauh ini jadi kajian mereka yang meneliti perilaku berbahasa sebagai objek.
“Subjektivitas masyarakat dalam berbahasa perlu disuarakan untuk kemudian dikaji bersama sebagai perumusan ulang makna bahasa dan budaya di Indonesia. Bentuk riilnya bisa kita pikirkan bersama dengan berbagai kalangan yang aktif di masyarakat,” pungkasnya. (lian) .