Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
Gianyar-Mediaindonesianews.com: Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Garda Tipikor Indonesia (GTI) mempertanyakan sikap Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Klungkung, Bali terkait laporan warga di empat desa yang tanahnya digunakan Kawasan Pusat Kebudayaan Bali (PKB).
Dalam keterangannya Ketua LSM GTI Kabupaten Gianyar Pande Mangku Rata mengungkapkan bahwa pihaknya menerima laporan dari 25 warga dari empat desa di Kabupaten Klungkung yang memiliki tanah dengan luas total sekitar 53 hektare telah dipakai Kawasan Pusat Kebudayaan Bali (PKB), namun tidak menerima ganti rugi.
“Sesuai laporan yang diperkuat dengan bukti-bukti sporadik bahwa lahan 53 hektare itu berada di kawasan eks Galian C, yang dulunya merupakan areal pertanian. Namun, lahan ini terkubur material lahar letusan Gunung Agung pada tahun 1963 dan kawasan tersebut kini ditetapkan sebagai lokasi PKB oleh Pemerintah Provinsi Bali melalui SK Gubernur Bali Nomor: 530/01-A/HK/2020,’’ ujar Pande Mangku, Jum’at (20/6)
Lebih lanjut Pande Mangku menjelaskan bahwa, PKB telah memakai lahan seluas 334 hektare di eks Galian C yang diantaranya kawasan tersebut milik 25 warga yang berada di Desa Gunaksa dan Desa Sampalan Kelod, Kecamatan Dawan, serta Desa Tangkas dan Desa Jumpai, Kecamatan Klungkung.
“Meskipun lahan mereka belum bersertifikat, namun para pemilik tanah menyatakan memiliki bukti yang kuat, mulai dari dokumen pembayaran pajak IPEDA dan PBB sejak 1986 hingga 2020, surat sporadik yang disahkan kepala desa, hingga dokumen permintaan data yang diminta BPN untuk proses ganti rugi.” Jelasnya.
Ironisnya dalam proses, lanjut Pande Mangku BPN Klungkung tidak menerbitkan rekomendasi pembayaran ganti rugi terhadap tanah mereka karena menganggap bukti yang diajukan tidak memenuhi syarat legalitas formal. Hal tersebut membuat para pemilik tanah merasa tidak mendapatkan keadilan.
“pemilik tanah sempat membawa persoalan ini ke Pengadilan Negeri (PN) Semarapura. Namun, pada tanggal 16 Mei 2023, gugatan mereka ditolak dengan alasan tidak mampu menunjukkan batas-batas lahan secara jelas.” katanya
Menurut Pande Mengaku, jika hal itu dijadikan alasan penolakan, maka logika dan kewarasan hakimnya layak dipertanyakan, apakah ada orang atau ahli hebat sekalipun yang bisa menunjukkan batas-batas tanah di tanah yang telah tertimbun lahar letusan Gunung Agung tahun 1963.
“Padahal tanah 53 haktare tersebut ada peta bloknya, yang artinya tanahnya benar-benar ada, namun belakangan lokasi tersebut diuruk untuk kepentingan proyek penataan PKB. Ini sangat aneh,’’ paparnya.
Oleh karena itu, pihaknya mempertanyakan kepada Kepala Kantor BPN Klungkung dan pihak terkait lainnya, siapa saja pihak yang telah menerima uang ganti rugi sebesar Rp142 miliar atas tanah 53 haktera yang tiak dibayar oleh tim pembebasan lahan Kawasan PKB itu?
“Hal ini harus dijelaskan agar tidak muncul dugaan adanya pelanggaran hukum apa lagi KKN,” tegasnya.
Atas fenomena tersebut, GTI meminta ketegasan Kepala Kantor BPN Kabupaten Klungkung untuk memberikan klarifikasi atas keberadaan tanah 53 hektare itu. Pertanyaannya adalah siapa yang saat ini secara legal memiliki lahan tersebut? Siapa pula yang telah menerima dana ganti rugi atas lahan itu, jika bukan 25 pemilik sebagaimana tercantum dalam peta blok kawasan galian C tersebut?
“klarifikasi ini sangat penting untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kewenangan dan untuk memastikan tidak ada pihak yang dirugikan secara hukum maupun sosial atas proyek mercuar PKB tersebut” pungkasnya.