Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
Oleh: Agil Nanggala
Komposisi Nasionalis Religius
Konvensi yang menjadi standar baku dalam penentuan pasangan Capres serta Cawapres 2024, adalah reprsentasi tokoh nasionalis dan religius, agar mampu memikat konstituen, sebagai upaya meraih kemenangan pemilu. Tentu siasat dan upaya itu, perlu disertai dengan basis moral dalam mewujudkan Pilpres 2024, yang progresif, alturistik juga beradab, mengingat eksistensi parpol Islam yang dipenuhi dengan nilai-nilai islami atau religius, bukan sebatas daya tarik untuk kepentingan kemenangan politik.
Realitas parpol Islam yang belum pernah menjadi juara dalam pemilu legislatif, adalah kritik sosial terhadap pendidikan, komunikasi, dan kaderisasi parpol, yang dipandang tidak seutuh partai nasionalis atau konvensional. Sehingga berdampak pada eksistensinya yang hanya mampu mencapai level Cawapres dalam kontestasi pemilu 5 tahunan. Walau skema nasionalis religius tidak selalu menjamin kemenangan, seperti pada duet Mega-Hasyim pada Pilpres 2004, yang kalah oleh Pasangan SBY-JK, yang merepresentasikan militer religius.
Tetapi duet nasionalis religius tersebut kembali memperoleh angin segar, ketika pasangan Jokowi-K.H. Maruf Amin, keluar selaku kampiun Pilpres 2019. Realitas itu kembali menjadi narasi dalam penentuan koalisi Pilpres 2024, dengan tokoh Capres yang mencerminkan kaum atau nilai-nilai nasionalis. Maka secara normatif, memerlukan pasangan yang mencerminkan kaum religius, terlebih yang moderat, untuk memperbesar potensi kemenangan pemilu.
Menilik Kedigdayaan Parpol Islam
Orientasi parpol Islam dalam setiap kontestasi pemilu, secara eksplisit adalah mendapat cocktail effect melalui finalisasi kadernya selaku Cawapres, untuk keberlanjutan hidup parpol Islam. Realitas itu lumrah, mengingat, baik dalam pemilu legislatif, maupun pilpres langsung, belum pernah tercatat dalam sejarah, bahwa capres dari parpol memenangkan kontestasi pemilu, maka pilhan politik paling rasional adalah berupaya menjadikan kadernya selaku cawapres dalam skema koalisi nasionalis religius.
Pencapaian tertinggi parpol Islam adalah menjadikan Gus Dur atau K.H Abdurrahman Wahid selaku Presiden pada pemilu 1999 di MPR, melalui skema politik poros tengah, walau pada pemilu legislatifnya, PKB, selaku partai politik Gus Dur hanya memperoleh 12,61% suara nasional atau urutan ke-4. Sehingga menegaskan sejak era Orde Lama sampai Reformasi, belum ada satu pun parpol yang mampu menjadi kampiun pesta demokrasi 5 tahunan, yang perlu dijadikan selaku wahana kontemplasi, mengenai kedigdayaan parpol Islam.
Tantangan mendasar bagi parpol Islam dalam menjadikan kadernya selaku RI 1, adalah realitas sosio-kultural masyarakat Indonesia, yang bersifat multkultur dan nasionalis, walau secara fakta Agama Islam menjadi mayoritas di Indonesia (88%), tetapi belum mampu menjadi modal sosial untuk kemenangan parpol Islam. Terlebih kaum nasionalis, juga secara implisit memuat nilai-nilai religius atau keislaman, yang cukup meyakinkan pilihan politik kaum Islam tradisional.
Sehingga berdampak pada belum optimalnya kedigdayaan parpol Islam, khususnya pada pemilu politik. Sistem kaderisasi, pendidikan, dan komunikasi politik, yang dipandang tidak ada perbedaan khas, dengan parpol nasionalis atau konvensional, selain kecerderungan menggunakan Al-Quran dan Hadist, selaku dasar hukum, dalam AD dan ART Parpol Islam, walau tidak berlaku untuk setiap parpol Islam. Maka model kaderisasi, pendidikan, dan komunikasi politik parpol Islam perlu ditunjukan pada masyarakat, agar menjadi modal sosial bargaining politik, maupun meningkatkan kedigyaan parpol Islam, mengingat cocktail effect melalui skema koalisi nasionalis religius bersifat sementara, bukan solusi konkret dalam membangkitkan eksistensi parpol Islam dalam dinamika politik Indonesia.
Terlebih eksistensi Parpol Islam adalah untuk mewujudkan kehidupan politik Indonesia yang religius, humanis juga berdaya, maka perlu selaras dengan kapasitas juga kapabilutas dalam mengelola politik Indonesia, secara holistik juga bijaksana. Boleh jadi Pilpres 2024 adalah batu loncatan mewujudkan kedigdayaan Parpol Islam di Indonesia, tetapi strategi politik itu dipandang sulit, mengingat target realistisnya adalah menjadikan kader Parpol Islam selaku cawapres, maka penting mewujudkan visi Parpol Islam yang progresif dan berbasis moral, agar praktik kaderisasi, komunikasi, dan pendidikan politiknya, bisa menarik atensi lebih konstituen Indonesia.
Parpol Islam: Pembaharuan Politik
Orientasi untuk mendigdayakan Parpol Islam dalam dinamika sosial dan politik Indonesia, tentu tidak boleh sebatas untuk memenangkan pemilu politik saja, tetapi untuk mewujudkan praktik kehidupan masyarakat Indonesia yang berbasis nila-nilai Islamia tau Pancasila. Mengingat Pancasila berbasis Ketuhanan Yang Maha Esa, tentu menjadi spirit moral bagi Parpol Islam untuk memperkat kapasitas dan kapabilitas politiknya. Karena entitas politik itu membawa nilai-nilai Islam atau religius, maka akan sangat riskan, apabila melakukan Tindakan tidak terpuji, seperti, korupsi, dan yang lainnya.
Pembaharuan politik Indonesia yang lebih beradab, demokratis, dan progresif, tentu tidak akan optimal, tanpa eksistensi Parpol Islam, karena memperjuangkan nilai-nilai Islam moderat, inklusif, dan toleran. Sehingga mampu memperet persaudaraan antara kaum nasionalis dengan kaum religius, mengingat mereka adalah yang konsisten memperjuangkan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Konsep Indonesia selaku negara beragama, Pasal 29 UUD 1945, tentu perlu dipandang selaku landasan hukum dalam memperkuat kehidupan bangsa yang religius, termasuk pada bidang politik, maka diperlukan peran nyata dari Parpol Islam, tentu substansi itu membuat entitas politik tersebut, untuk tidak sebatas memiliki orientasi bertahan dalam percaturan politik nasional melalui kontestasi Pilpres, tetapi harus memiliki semangat juang dalam mewujudkan pembaharuan politik secara inklusif.
Orientasi mulia itu, perlu disertai dengan upaya nyata Parpol Islam dalam memperkuat basis massa dan komitmennya terhadap nilai-nilai religius, sehingga politik anomali menjadi lebih transformatif, dan mengutamakan keadaban. Realitas Parpol Islam yang berupaya menyelamatkan eksistensi politiknya untuk 5 tahun ke depan, tentu berdampak pada belum optimalnya fungsi pendidikan dan kaderisasi politik berbasis nilai-nilai Islami atau religus terhadap masyarakat, maka turut berdampak pada timbulnya fenomena liberalisasi dan sekulerisme pada segelintir generasi muda bangsa.
Parpol Islam perlu memandang bahwa agenda politiknya bukan sebatas memenangkan kontestasi pemilu 5 tahunan, tetapi untuk mewujudkan visi civil society (masyarakat demokrasi Indonesia), yang berbasis nilai-nilai Pancasila atau religius, mewujudkan moderasi beragama, dan Islam yang toleran, mengingat selaras dengan kultur masyarakat Indonesia. Pada konteks pemilu, Parpol Islam perlu menjadi katalisator moral, agar pemilu tidak menimbulkan perpecahan bangsa dan dendam politik yang tidak produktif, mengingat eksistensinya begitu disertai nilai-nilai Islami atau Ketuhanan, sehingga harus selaras dengan realisasi aktivitas politiknya.
Pembaharuan politik melalui Parpol Islam bukanlah upaya bersifat ringkas, tetapi sifatnya dinamis dan kompleks. Namun pembaharuan politik yang lebih beradab, progresif, dan inklusif, adalah wacana mulia, yang perlu menjadi perjuangan mulia Parpol Islam. Terlebih pembaharuan politik, tidak akan terwujud apabila Parpol Islam hanya bermental pragmatis untuk memenangkan kontestasi pemilu 5 tahunan, tetapi pembaharuan politik yang holistik, toleran dan tersistematis, akan secara nyata memperkuat kedigdayaan Parpol Islam, termasuk pada pemilu.***
Penulis Adalah Dosen Universitas Pendidikan Indonesia