Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
Oleh: Edy Karim, Ak., M.H., C.A., CfrA, QIA. CACP.
UU KPK terkini mengamanatkan kepada Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK untuk melakukan penguatan pencegahan korupsi sehingga ditempatkan dalam urutan pertama diantara tugas dan kewenangan KPK. Namun penindakan terhadap pelaku korupsi (koruptor) tidak boleh juga diabaikan. Dengan penegasan UU KPK tersebut, bukan berarti pencegahan korupsi dijadikan dalih mengalihkan penindakan yang mesti dilakukan terhadap pelaku korupsi sehingga perlu ada pembagian fungsi yang jelas siapa yang tepat menangani pencegahan dan penindakan sehingga tidak overlap yang berakibat kontra produktif dalam pemberantasan korupsi..
Amar Putusan MK Nomor 70/PUU-XVII/2019 mengganti frasa “Pencegahan dan pemberatasan Tindak Pidana Korupsi” dengan Frasa “Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. Dengan demikian Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi lebih jelas yaitu “Pencegahan dan Penindakan”, sehingga pemberantasan tindak pidana korupsi dalam UU KPK dapat dimaknai secara konstitusional sebagai penindakan disamping pencegahan.
Pencegahan korupsi sesuai Instruksi Presiden yang sejak era reformasi sudah mati suri dan sampai saat ini tidak dicabut maupun diganti, menerapkan konsep pengawasan dalam praktik empiris atau best pratice dilakukan tidak hanya dari sisi pegawasan melekat, namun ada sisi lain pengawasan dalam organisasi (entitas) yang belum menjadi perhatian serius selama ini melalui peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) atau Internal Audit yang terdiri dari BPKP; Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern; Inspektorat Provinsi; dan Inspektorat Kabupaten/Kota.
Kepercayaan terhadap APIP yang perlu dijaga oleh Presiden sebagai kepala Pemerintahan adalah Independensi dan Obyektivitas APIP dalam melaksanakan tugasnya termasuk terhadap Pimpinan dalam organisasi tersebut (Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah). Konsep Internal Audit yang dikembangkan oleh The Institute of Internal Auditors (IIA) yang dijadikan best practice masih belum sepenuhnya diterapkan khusus berkenaan dengan Independensi dan Obyektivitas dalam melakukan pengawasan. The Institute of Internal Auditors (IIA) telah memberikan arahan konkrit bagaimana independensi dan obyektivitas Internal Audit dalam hal ini APIP dapat dilakukan.
Aparat pengawasan Intern pemerintah (APIP) atau Internal Audit melaksanakan pengawasan intern melalui seluruh proses kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi.
Kompetensi auditor tersebut yang terdapat dalam APIP berbeda dengan komptensi penyidik dalam APH begitu pula posisi APIP berada dalam entitas (organisasi) Kementerian/Lembaga/Pemda berbeda dengan APH yang berada di luar entitas (organisasi) menunjukkan perbedaan peran siapa yang tepat melakukan pencegahan dan penindakan walaupun ke duanya mempunyai kaitan erat dalam upaya pemberantasan korupsi.
Dari aspek Governansi (Tata Kelola), sejak era otonomi daerah dan desentralisasi tidak bisa dikatakan pengawasan intern pemerintah dalam kondisi baik-baik saja. Kekuasaan administratif Presiden sebaliknya jadi melemah untuk mengawasi penyelenggaraan pemerintahan pusat dan daerah dalam sistem presidensial.
Urusan pemerintahan bidang pengawasan merupakan hak prerogatif Presiden untuk dilakukan pengaturan lebih lanjut oleh Presiden tidak oleh DPR dan juga bukan oleh Kementerian. UU No.39 tahun 2018 tentang Kementerian Negara dengan perubahan terakhir dalam UU No. 61 tahun 2024 tidak mengatur urusan pengawasan selain “urusan tertentu” yang ditugasi Presiden kepada Kementerian.
Konstitusi dan UU Kementerian Negara tidak ingin masing-masing Kementerian membuat pengaturan urusan pengawasan intern pemerintah kecuali urusan tertentu yang sudah ditugasi oleh Presiden. Berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan tidak independen ketika pengawasan yang merupakan hak prerogatif Presiden diatur oleh masing-masing Kementerian dengan memberikan kewenangan kepada masing-masing APIP yang berada pada Kementerian yang bersangkutan.
Dukungan kuat Presiden kepada BPKP sebagai lembaga pengawasan yang ditugasi dalam urusan pengawasan perlu menginisasi regulasi urusan pemerintahan di bidang pengawasan, karena sampai saat ini belum ada pengaturan lebih lanjut dari Presiden berkenaan dengan tata kelola pengawasan intern pemerintah dengan melibatkan secara nyata peran BPKP serta APIP lainnya pada Kementerian/Lembaga dan Pemda dalam memperkuat koordinasi dan sinergi pengawasan intern pemerintah termasuk membangun independensinya.
Pencegahan korupsi dengan membangun sistem berbasis Teknologi Digitalisasi tidak sempurna bila tidak dikembangkan peran APIP yang independen dan obyektif yang merupakan dua sisi dalam mata uang yang sama. Presiden punya kepentingan dalam memperoleh kepastian penyelenggaraan pemerintahan oleh para Menteri/Pimpinan Lembaga dan Pemerintah Daerah sesuai dengan tujuan bernegara melalui berfungsinya ke dua sarana tersebut.
Sebagaimana diketahui, negara dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tinggi yang menerapkan secara ketat regulasi Pengawasan Intern (Internal Audit) pemerintahan yaitu Denmark (90), Finlandia (87), Norwegia (84), Singapura (83), Swedia (82), Switzerland (82).
Indonesia masih memprihatinkan dengan perhatiannya pada peran internal audit dalam mendukung strategi pencegahan korupsi sebagai bagian dari upaya pemberantasan korupsi disamping penindakan terhadap pelaku korupsi.
Penulis adalah: pegawai Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sejak 1978 – Mei 2016. Diperbantukan oleh BPKP pada TGPTPK tahun 2000, KPK tahun 2004 dan Tenaga Ahli BAP-DPD RI 2017-2022.