Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
Jakarta - mediaindonesianews.com : Banyak pengamat, elemen organisasi dan ormas yang meminta agar pilkada 2020 ditunda dikarenakan faktor covid 19 akan menimbulkan klaster baru dalam pilkada ini.
Hal ini pun ditegaskan Ketua Program Studi Ilmu Politik FISIPOL Universitas Kristen Indonesia (UKI) FX. Gian Tue Mali, M.Si kepada mediaindonesianews.com yang meminta Pilkada memang untuk sementara harus ditunda dahulu.
"Kita harusnya memfokuskan diri terutama untuk anggaran negara untuk penanganan pandemi ini. Upaya penegakkan ketaatan masyarakat pada protokol kesehatan, alat tes kesehatan, penelitian vaksin, ketersediaan APD, ruang perawatan pasien covid-19, bahkan dampak ekonominya pun butuh banyak stimulus anggaran pada pekerja maupun dunia usaha, itu semua membutuhkan anggaran yang tidak sedikit serta konsentrasi penuh dari seluruh elemen, terutama pemerintah," katanya, Rabu (23/9).
Menurut pandangan Gian, Pilkada sudah pasti menyerap sejumlah anggaran, memang akan ada perputaran uang akan tetapi tidak berdampak luas, lalu mengumpulkan massa, peluang terciptanya kluster baru sangat besar.
"Jika dikatakan terkendali, kandidat kepala daerah saja sudah ada belasan orang yang positif covid 19, saya yakin mereka pasti telah bertemu banyak orang untuk konsolidasi dan sebagainya, bisa diprediksi pasti ada yang telah terjangkiti dari para kandidat kepala daerah tersebut. Ini belum masuk masa kampanye, masa kampanye 75 hari saya sangat yakin bahwa pasti akan ada kluster baru yang massif jumlah pasiennya dari proses pilkada ini," tegasnya.
Menurut Gian, Regulasi untuk meneggakkan protokol kesehatan dirinya setuju-setuju saja. akan tetapi penegakkannya itu yang harus diseriuskan, termasuk sosialisasi dan pendidikan tentang protokol kesehatan ke seluruh lapisan sosial.
"Lihat saja berbagai sanksi penegakkan yang selama ini dilakukan dengan berbagai cara, disuruh sapu jalanan, bersihkan got, masuk dalam peti, itu semua apa ada landasan hukumnya? Tidak disebutkan secara detail, tetapi adakah masyarakat yang protes, tidak banyak, semua menuruti berbagai sanksi tersebut. Tetapi mengapa masih ada yang tidak menggunakan masker dan sebagainya, ya karena ketidakpahaman, ketidakpedulian, atau tidak terbiasa, sehingga perlu didorong upaya sosialisasi dan pendidikan tentang protokol kesehatannya," imbuhnya.
Lebih lanjut Gian melihat adanya larangan untuk membuat pertemuan melibatkan massa banyak atau kerumunan, seperti rapat umum, konser dan arak arakan, peserta pilkada pun dianjurkan agar berkampanye melalui daring. Dengan berbagai larangan seperti itu, maka pemilih tentu tidak akan banyak mengenal kandidat kepala daerahnya, lalu darimana legitimasi rakyat itu akan kuat.
Saya perkirakan tingkat partisipasi akan sangat rendah, karena pada kondisi normal pun partisipasi sudah rendah, karena masyarakat tidak banyak mengenal kandidatnya, apa visi misinya, apa kebijakan yang ditawarkan, dan sebagainya. Bisa-bisa rakyat memilih kucing dalam karung, karena tidak mengenal secara baik siapa kandidat kepala daerahnya. Ini kan pada akhirnya mencederai demokrasi itu sendiri, karena rakyat tidak banyak mengetahui kepala daerahnya, legitimasi rakyat rendah. Maka sudah selayaknya pilkada ini ditunda," pungkasnya. (LiaN)