Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
Jakarta - mediaindonesianews.com : Koalisi Organisasi Pendidikan menolak masuknya kluster pendidikan dan kebudayaan dalam Rancangan UU Cipta kerja, mendapat pandangan dari Dr. Denny Tewu SE., MM, Wakil Rektor II Universitas Kristen Indonesia (UKI) yang mengungkapkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia pada umumnya belum bisa dikategorikan sebagai industri, masih banyak pendidikan di Indonesia di kelola secara nirlaba atau lebih mengutamakan kepentingan sosial, sehingga bila diatur dengan cara konpetisi bebas.
“tentunya akan banyak masalah kedepan, banyak sistem terkait pun belum siap dengan kondisi tersebut, risikonya adalah akan terjadi persaingan bebas dalam merebut pasar mahasiswa baru, pasar ketenagakerjaan dan yang pasti misi sosial dan idiologi Pancasila serta budaya lokal, takutnya akan ikut tergerus pula. Hal ini tentunya perlu menjadi pertimbangan serius oleh Pemerintah,” tegasnya kepada mediaindonesianews.com, Rabu (23/9).
Denny menambahkan, membangun bangsa ini tidak perlu harus tergesa-tergesa dalam 1-2 periode dengan cara pemaksaan, kesulitan masyarakat untuk memahami serta mandapat akses atas sosialisasi RUU tersebut pun sudah menjadi masalah tersendiri.
"jadi Pemerintah dan DPR harus meyakinkan seluruh stake holder bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan pendidikan lokal sudah terakomodir dengan baik di dalam RUU tersebut,” ungkapnya.
Menurut Denny, ada 11 catatan kritis koalisi terhadap kluster pendidikan dan kebudayaan di RUU cipta kerja, contohnya pada pasal 32 ayat 1 UDD 45 mengamanatkan negara untuk memajukan kebudayaan nasional indonesia ditengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai nilai budayanya.
“namun kluster pendidikan dan kebudayaan di RUU Cipta kerja bertentangan dengan pasal tersebut, kalau RUU Cipta kerja itu hanya orientasi pada ekonomi saja, tentulah akan bertentangan banyak dengan konstitusi, kecuali RUU Cipta Kerja tersebut hanya berlaku bagi wilayah-wilayah tertentu atau kalangan tertentu saja, seperti BUMN yang mengelola bisnis dengan tujuan sosial maupun perimbangan usaha besar maupun pendapatan untuk negara.” tandasnya.
Disisi lain, lanjut Denny, dalam RUU tersebut peran penyelenggara pendidikan tinggi keagamaan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang agama dihilangkan. Tata kelola perguruan tinggi swasta tidak di wajibkan lagi mempunyai Badan penyelenggara sehingga bisa langsung oleh pimpinan.
“hal ini pun masih rancu, apakah dihilangkan berarti menggunakan hukum pasar, atau justru tetap mendapatkan perlindungan khusus dari Pemerintah dengan berbagai anggaran nasional maupun daerah yang ada.” Katanya
Denny berpandangan, perbedaan persepsi atas keambiguan dari pada RUU tersebut harus di kupas tuntas melalui jalur komunikasi serta sosialisasi yang maksimal.
“ibarat risiko yang tidak dimitigasi dari awal, baik peluang yang akan terjadi menguntungkan atau merugikan serta dampak yang diakibatkannya baik positif maupun negatifnya harus dipikirkan dan yang merugikan segera dimitigasi hingga risiko yang paling rendah.” pungkasnya. (LiaN).