Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
Oleh: Luqyana Agny Anisataqiyya
Manusia merupakan makhluk hidup yang diciptakan oleh Tuhan dengan keadaan paling sempurna dibanding makhluk hidup lainnya karena manusia memiliki apa yang tidak dimiliki oleh makhluk hidup lainnya, yakni akal dan pikiran. Kedua unsur tersebut didukung dengan adanya perasaan dan keyakinan guna meningkatkan taraf hidup manusia di dunia. Dengan bekal sedemikian rupa, tidak mengherankan bila manusia sering kali melahirkan beragam pertanyaan karena ketidakpuasannya dalam menghadapi berbagai permasalahan di dalam berbagai aspek kehidupan di dunia. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut nantinya akan beragam. Salah satu yang dapat diketahui secara konkrit, ialah terciptanya berbagai penemuan baru dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Penemuan baru dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi pada hakikatnya memberikan dampak yang cukup besar dalam menyelesaikan permasalahan kehidupan manusia serta dapat meningkatkan kesejahteraan umat manusia. Terlebih lagi, di era globalisasi ini, kebutuhan manusia semakin meningkat. Manusia yang dijadikan sebagai makhluk hidup paling sempurna, ternyata tidak luput dari pemikiran bahwasanya dirinya masih memiliki kekurangan ataupun ketidaksempurnaan, sehingga manusia dalam kondisi ini akan terus mencari cara agar tercipta kesempurnaan dalam dirinya sebagaimana yang diinginkan. Guna mewujudkan kesempurnaan itu, muncul penemuan baru dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi biomedik berupa kloning.
Kloning secara etimologi berasal dari bahasa Yunani Kuno “klon” yang berarti cabang atau batang, merupakan populasi organisme yang tercipta dari adanya pembelahan yang dilakukan secara berulang oleh satu organisme. Seiring berkembangnya zaman, istilah “klon” berkembang menjadi “cloning” yang berarti suatu usaha dalam menciptakan duplikat suatu organisme melalui proses aseksual atau pengadaan dari suatu makhluk hidup dengan cara aseksual. Pratiwi Sudarsono memberikan pernyataan yang senada terkait pengertian kloning, yakni perbanyakan sel atau organisme secara aseksual yang nantinya menghasilkan suatu klon berupa populasi yang berasal dari satu sel atau organisme yang mempunyai rangkaian kromosom yang sama dan bersifat identik dengan induknya. Berangkat dari definisi yang telah dipaparkan, dapat diketahui secara ringkas, kloning merupakan suatu metode prokreasi makhluk hidup yang dapat dilakukan melalui aseksual.
Metode kloning pada awalnya hanya diimplementasikan dalam produksi tanaman atau binatang saja. Sampai pada akhir tahun 1997, belum terdapat ilmuwan yang menyatakan dirinya telah berhasil melakukan kloning pada manusia. Hingga pada akhirnya, dunia sains dikejutkan dengan adanya pernyataan sekte Raelian bahwa proyek Clonaid-nya berhasil melahirkan bayi pertama hasil kloning pada 26 Desember 2002. Bayi perempuan yang diberi nama Eve ini lahir melalui operasi sesar dengan teknik kloning Somatic Cell Nuclear Transfer (“SCNT”) yang digunakan ketika kloning domba Dolly pada tahun 1996.
Teknik SCNT bermula dari pengambilan inti sel telur yang diisi inti sel somatik berasal dari sel kulit. Kemudian sel telur tersebut dibudidayakan dalam lingkungan bernutrisi sampai tumbuh menjadi embrio. Nantinya embrio tersebut menjadi tua lalu menjadi sumber sel induk embrionik. Dampaknya, akan lahir tulang, daging, kulit, dan jaringan tubuh lainnya. Teknik yang dilakukan oleh Stemagen Corp ini telah dibuktikan keasliannya dengan adanya pembuktian adanya kesesuaian embrio dengan DeoxyriboNucleic Acid (DNA) pendonor.
Di sisi lain, terdapat pula seorang dokter bernama Jerri Leborn Hall yang berasal dari Pusat Medik George Washington University, berhasil melakukan pembelahan embrio manusia menjadi beberapa embrio duplikat melalui teknik duplikasi yang diciptakannya. Dalam ilmu pengetahuan dan teknologi biomedik, tindakan seperti ini digunakan untuk mendapatkan beberapa anak kembar identik di luar cara hamil alami sebanyak yang diinginkan. Pada dasarnya metode digunakan tidak jauh berbeda dengan lahirnya Eve, yakni kloning embrio. Hasil penggabungan sel sperma dan sel telur di luar tubuh manusia, menghasilkan beberapa duplikat embrio yang nantinya menjadi cikal bakal manusia duplikat yang siap untuk dimasukkan ke dalam rahim ibu kapanpun.
Seiring berkembangnya pemikiran manusia dan teknologi yang memadai, metode kloning tidak lagi mempergunakan sel sperma dan sel telur, tetapi menggunakan sel telur dan sel apa saja selain sperma. Dengan demikian, seorang anak nantinya dapat lahir ke dunia tanpa memerlukan sel sperma ayah. Lebih dalam, tidak menutup kemungkinan akan lahir anak dalam perkawinan sejenis, karena hanya sel telur yang dibutuhkan lalu menitipkan sel telur tersebut pada rahim seorang wanita yang merupakan ibu pengganti (surrogate mother).
Kehadiran kloning secara umum membawa dampak positif bagi para banyak calon orang tua yang ingin memiliki buah hati tetapi terhalang karena tidak memiliki kemampuan untuk melakukan prokreasi. Kloning juga turut membantu memperbaiki kecacatan genetik yang dimiliki oleh para orang tua yang beresiko mewarisinya. Sel telur yang difertilisasi dapat diklon dan hasil duplikat dicobakan untuk penyakit atau kecacatan. Jika hasilnya bebas dari cacat gentik, klon lainnya dapat digunakan dan dapat diimplantasikan pada wanita yang membutuhkan.
Di samping dampak positif yang akan didapatkan, kloning juga dapat berdampak negatif yang meresahkan keberlangsungan hidup manusia. Tidak menutup kemungkinan suatu negara dapat mengembangan manusia dengan memaksimalkan ciri tertentu, seperti yang diinginkan oleh Nazi Jerman. Sebab, sekali manusia dikembangkan maka kloning dapat digunakan untuk memperbanyak individu dan menghasilkan banyak klon. Ditambah, dengan tindakan yang sama, kloning mampu mengeksploitasi genetik dengan mengkreasikan genetik di bawah standar. Embrio yang telah lahir di janin wanita dan dapat dikatakan sebagai subjek manusia pun dapat kemungkinan terbunuh karena tindakan eksploitasi genetik dalam kloning.
Kloning secara eksplisit tidak diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Akan tetapi, dikarenakan kloning merupakan metode prokreasi tanpa melalui proses aseksual, maka hal tersebut dapat dikatakan memiliki kesamaan dengan upaya kehamilan di luar cara alamiah sebagaimana yang telah diatur ketentuannya dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”). Dalam Pasal 127 Ayat (1) UU Kesehatan disebutkan bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan, yakni hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal, dilakukan oleh Tenaga Kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu, dan pada fasilitas kesehatan tertentu. Dilanjutkan pada ayat (2), ketentuan mengenai persyaratan kehamilan di luar cara alamiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi (“PP Kesehatan Reproduksi”). Dalam Pasal 40 Ayat (1) disebutkan bahwasanya reproduksi dengan bantuan atau kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan pada pasangan suami istri yang terikat perkawinan yang sah dan mengalami ketidaksuburan atau infertilitas untuk memperoleh keturunan. Kemudian Ayat (2) menjelaskan bahwa dilaksanakan dengan menggunakan hasil pembuahan sperma dan ovum yang berasal dari suami istri yang bersangkutan dan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal. Kemudian disebutkan pula dalam melakukan reproduksi dengan bantuan atau kehamilan di luar cara alamiah, harus dilakukan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tidak bertentangan dengan norma agama. Hal tersebut diperjelas dengan ketentuan bahwa reproduksi dengan bantuan atau kehamilan di luar cara alamiah juga harus dilakukan oleh Tenaga Kesehatan yang mempunyai kompetensi dan kewenangan.
Perkembangan kloning di dunia, ibarat sebuah pisau bermata dua terhadap keberlangsungan hidup manusia. Secara teoritis, kloning dapat dilakukan tanpa melalui proses perkawinan yang sah dan dapat menggunakan sel telur serta sel apa saja selain sperma dari suami istri yang bersangkutan. Menurut Hukum Positif, tindakan tersebut tentu saja sudah melanggar Pasal 127 UU Kesehatan.
Bantuan infertilitas dalam metode kloning merupakan pemecah masalah dari ketidaksuburan yang dialami oleh wanita. Namun, tidak dapat mengabaikan fakta bahwa para ilmuwan pencipta kloning domba Dolly harus melakukan percobaan sebanyak 277 kali agar berhasil. Clonaid, pencipta bayi Eve, mengklaim bahwa pihaknya menggunakan lebih dari 200 sel telur manusia dari sel dewasa untuk mendapatkan sepuluh yang tumbuh normal tetapi hanya lima yang dapat dimplantasikan dengan sukses. Bercermin dari eksperimen-eksperimen tersebut, kloning untuk manusia akan melewati prosedur yang jauh lebih rumit dan tidak menutup kemungkinan terjadi pembunuhan ataupun kematian embrio dalam janin nantinya.
Pembunuhan ataupun kematian embrio menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan suatu bentuk kejahatan sehingga dapat dijatuhi sanksi pidana. Pengaturan lebih rinci terkait pasal dalam KUHP yang dimaksud terdapat dalam beberapa pasal, yakni Pasal 346 KUHP jika pelakunya merupakan perempuan, Pasal 347 jika pelakunya orang lain dengan tidak memiliki izin perempuan, Pasal 348 jika pelakunya merupakan orang lain dengan memiliki izin perempuan, dan Pasal 349 jika pelakunya memiliki jabatan. Di samping itu, menurut Hukum Perdata, embrio yang terdapat dalam janin manusia sudah dapat dikatakan sebagai subjek hukum karena dianggap telah hidup sehingga memiliki hak terkait hak waris sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 852 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Teranglah diketahui, jika terjadi kematian ataupun terbunuhnya embrio akan berpengaruh terhadap hak waris anak tersebut, yang mana menyebabkan hak anak tersebut atas waris hilang karena dianggap tidak pernah ada.
Lahirnya embrio tersebut ke dunia ternyata tidak menyelesaikan permasalahan hukum dengan begitu saja. Embrio yang lahir dan menjadi seorang manusia akan mengalami kesulitan mengetahui status hukumnya dalam hak pewarisan dan dalam hal pembuktian pengingkaran dan/atau pengakuan anak di kemudian hari, yang memerlukan tes DNA ataupun Akta Kelahiran. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan), anak yang sah merupakan anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. Anak yang lahir menggunakan metode kloning nantinya hanya akan memiliki hubungan darah dengan salah satu pihak, baik ibu atau ayah, bahkan tidak menutup kemungkinan lahir hubungan darah dengan pihak lain di luar kedua orang tua sebab sel telur dan DNA yang diambil berasal dari orang lain.
Salah satu kemungkinan penyebab berbedanya hubungan darah karena adanya pembuahan di luar rahim oleh sel telur milik ibu pengganti (surrogate mother). Surrogate mother merupakan suatu perjanjian antara seorang wanita yang mengikatkan diri melalui suatu perjanjian dengan pihak lain (suami istri) untuk menjadi hamil terhadap hasil pembuahan suami istri tersebut yang ditanamkan ke dalam rahimnya, dan setelah melahirkan diharuskan menyerahkan bayi tersebut kepada pihak suami isteri berdasarkan perjanjian yang dibuat. Dengan kata lain, perempuan penampung pembuahan telah menyewakan rahimnya. Perjanjian sewa rahin ini bila mengacu pada Hukum Positif Indonesia tidak diperbolehkan karena prokreasi yang terjadi bukan berasal dari pasangan suami istri yang terikat perkawinan sah. Apabila terdapat polemik mengenai status hukum anak dalam waris, anak tersebut akan bergantung pada pembuktian pengingkaran dan/atau pengakuan anak yang bukan jalan mudah untuk ditempuh.
Hukum Positif Indonesia juga mengacu pada ketentuan Hukum Islam ketika melangsungkan kloning. Islam mempercayai bahwasanya hubungan suami istri melalui perkawinan merupakan landasan bagi pembentukan masyarakat yang diatur berdasarkan tuntuhan Allah swt. Anak yang lahir dalam perikatan perkawinan tidak hanya membawa komponen genetik kedua orang tua, tetapi juga membawa identitas bagi anak. Kloning dalam hal ini dipercayai akan berujung pada hilangnya garis keturunan yang berakibat hilangnya hak anak dan terabaikannya sejumlah hukum yang timbul. Kemudian dikarenakan proses prokreasi dapat dilakukan secara aseksual, maka institusi perkawinan yang telah disyariatkan sebagai media berketurunan secara sah tidak diperlukan lagi, lembaga keluarga melalui perkawinan menjadi hancur, dan tidak ada lagi saling memerlukan antara laki-laki dan perempuan.
Setelah memaparkan penjelasan mengenai kloning di atas, sudah teranglah bahwasanya masyarakat tidak dapat serta merta menerima penggunaan teknologi biomedik. Kloning yang dapat membahayakan keberlangsungan masyarakat ini, sampai saat sekarang belum memiliki kedudukan yang pasti di mata hukum. Namun, dapat diketahui bahwa kloning telah melanggar Hukum Positif Indonesia. Oleh karena itu, perlu diatur lebih lanjut hukum mengenai kloning sehingga terdapat kepastian hukum dan para pihak yang dirugikan mendapatkan payung hukum.
Penulis adalah mahasiswa Fakutas Hukum Universitas Indonesia