Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
Oleh: Dr. Blasius Haryanto, MM
Era digital adalah istilah yang digunakan dalam kemunculan digital, jaringan internet, dan teknologi informasi computer. Dapat dikatakan juga, jaman internet menjadi gaya hidup. Popular dikenal dengan revolusi industry 4.0, dimana salah satunya ditandai dengan digitalisasi layanan dan hadirnya bersamaan dengan era milenial.
Mari kita kupas dengan pendekatan dua sudut pandang.
Pertama. Interaksi antar manusia. Dalam Era digital banyak peran manusia yang digantikan, contohnya tol otomatis, vendor mechine ticket, minuman, dan lain lain layanan on-line, sehingga terjadi pengurangan/pergeseran tenaga manusia didalamnya, sekali lagi pengurangan, bukan penghilangan, karena interaksi manusia dalam bisnis tidak mungkin dihilangkan. Kedepan pengurangan tersebut bisa memunculkan inovasi baru dalam service, sehingga akan kembali ke asal dengan gaya yang berbeda atau dengan kata lain, pengurangan tersebut sifatnya sementara dengan berjalanya waktu akan terbentuk keseimbangan baru.
Secara awam orang menganggap service hanya sebuah pelayanan, dan pelayanan diidentikan dengan manusia, (contoh di bank ya frontliner dan identik tata etikanya saja), padahal sejatinya service dalam konteks ilmiah dan akademis, demikian luas karena merupakan semua rangkaian proses pemindahan produk (manfaat) dari tangan produsen ke konsumen.
Uraian berikut akan lebih memperdalam lagi tentang pengertian tentang Service dan fenomenanya.
Diawali dengan formulasi pertanyaan “apakah 3S (Senyum, Salam, Sapa) adalah bagian dari service?”, dulu jawabannya adalah “iya”. Namun kini, secara tegas bisa dijawab “bukan, tapi merupakan hak”, sehingga jika tidak diberikan, kita telah merampas, merampok, membegal & menteror konsumen, ini berlaku seiring dengan perkembangan zaman bahwa kini kisi kisi harga diri manusia sudah sagat dijunjung tinggi, ditandai dengan tumbangnya era diktator secara mendunia (contoh: Hitler, gorbachef, Marcos, Saddam Husain, dll).
Terlebih kini banyak bermunculan Lembaga/organisasi yang concern terhadap human rights (Komnas HAM, ombudsman dll). Bayangkan sekarang pasangan suami istri saja, ada sedikit kasar bisa terkena pasal KDRT, hati hati guru marahi murid,
Bisa bisa berhadapan dengan lowyer… kalau dulu? jangan tanya dan masih banyak contohnya lagi.
Akhir-akhir ini para peneliti menemukan fenomena terbaru bahwa penyedia jasa harus lebih focus pada kebutuhan konsumen (need) dari pada produk (Leonard Berry, 1999). Sedangkan kebutuhan-kebutuhan manusia terdiri dari lima tingkatan, dan yang tertinggi adalah actuality/pengakuan (Maslow, 1942).
Hal tersebut dikonfirmasi dalam temuan penulis (dalam disertasinya tahun 2018) yang menegaskan bahwa actuality/pengakuan salah satunya dapat dihasilkan melalui sentuhan emosi, bahkan dengan sentuhan emosi yang membentuk keterikatan emosi (emotional attachment) mampu mengeliminir kepuasan nasabah. (Blasius, 2018) Konkretnya bahwa berhasil tidaknya bisnis penyedia jasa dalam memenangkan persaingan, tergantung dari keberhasilan dalam memberikan sentuhan emosi pada konsumen.
Ringkasnya, service demikian penting dan terus berkembang perannya dalam interaksi manusia. Dengan kata lain service tetap diperlukan dalam era digital sepanjang melibatkan manusia.
Kedua. Dilihat dari sudut pandang budaya dalam perusahaan. Sebagaimana dipahami bahwa cukture suatu perusahaan adalah merupakan way, ciri khas, identitas yang dapat membawa perusahaan pada 4L (Legend, Legacy, Laba, Langgeng). Keberadaannya adalah inhern karena merupakan jiwa perusahaan. Bagaimana kaitannya dengan service? Berikut pertanyaan simplenya, “apakah Service bagian budaya? “ Jawabnya “pasti” dengan argumen:
• irisan dari budaya yang bisa di lihat, di dengar adalah service (layanan), sedangkan yang dirasakan dengan hati itu budaya
• service dan budaya tidak dapat dipisahkan, analoginya seperti tubuh manusia, bahwa wajah, tampilan, komunikasi, gesture dan isyarat adalah service, sedangkan perilaku hati perasaan adalah budaya
• Service itu pada prakteknya merupakan media untuk ekspose culture.
Uraian diatas menggambarkan bahwa service adalah bagian dari budaya, dan budaya merupakan jiwa dari perusahaan sehingga resultante-nya adalah bahwa service tetap diperlukan di era digital.
Wahai para pelaku industry, khususnya dalam bidang jasa, jangan pernah sedikitpun mengecilkan peran service dengan datangnya era digital, karena pada hakekatnya service dapat menjadi multiplier effect terhadap benefit dalam bisnis.
Era digital dengan dengan strategi kombinasi service yang inovatif dan kreatif pasri mampu mewujudkan kemasan service baru yang dahsyat.
Don’t let’s culture eats strategy for breakfast (Peter Drucker, 1985)
Penulis adalah Motivator, Fasilitator, mantan Praktisi Perbankan dan Doktor Bidang Service Management.