Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
Jakarta - mediaindonesianews.com: Belakangan ini kembali ramai pemberitaan tentang tindakan arogansi yang dilakukan oleh beberapa oknum yang mengatasnamakan petugas eksekusi jaminan fidusia atau lebih dikenal oleh masyarakat awam sebagai “Debt Collector / DC ”. Dalam pemberitaan disebutkan 11 orang yang mengaku sebagai petugas / penerima kuasa penarikan dari salah satu perusahaan pembiayaan, menghadang sebuah mobil yang dikendarai oleh seorang anggota TNI yang bernama Serda Nurhadi. Ke - 11 oknum tersebut secara arogan memberhentikan dan menghadang mobil tersebut secara bersama - sama di Gerbang Tol Koja Barat, Jakarta Utara dan kasusnya telah ditangani oleh pihak Kepolisian. Selain kasus tersebut masih banyak lagi kasus - kasus lain yang terjadi sebagai akibat penanganan permasalahan kredit macet yang bahkan tidak jarang menimbulkan korban jiwa.
Dalam hal ini penulis ingin mengajak publik untuk membuka wawasan seberapa pentingnya pembaharuan UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia untuk mendukung program pemerintah dalam perbaikan ekonomi khususnya di bidang pembiayaan.
Pemerintah mengeluarkan UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia yang mengatur tentang kewajiban pendaftaran jaminan fidusia dengan tujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan dalam hal ini Debitur sebagai pihak pemberi fidusia dan Kreditur sebagai penerima fidusia. Kreditur sebagai penerima fidusia oleh UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia diberikan hak yang diutamakan (Preferen) dari kreditur lain terhadap obyek jaminan fidusia dalam hal Debitur sebagai pemberi fidusia tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana yang diperjanjikan (Wanprestasi). Dengan adanya jaminan kepastian hukum tersebut, diharapkan iklim investasi khususnya di bidang pembiayaan kendaraan bermotor mengalami pertumbuhan yang pesat dan dapat menjadi penyokong pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Dan terbukti bahwa industri pembiayaan kendaraan bermotor di Indonesia terus mengalami pertumbuhan positif sejak dikeluarkannya UU tersebut sampai dengan Tahun 2019, dimana kinerja pembiayaan di tahun 2019 masih mengalami pertumbuhan 3,66% secara tahunan dan baru di tahun 2020 kinerja pembiayaan terkontraksi hebat akibat tekanan ekonomi selama pandemi yaitu turun sampai dengan 17,1% sebagaimana disampaikan oleh Ketua Dewan Komisioner OJK Bapak Wimboh Santoso dalam pertemuan tahunan industri jasa keuangan (PTIJK) Tahun 2020. Dan di tahun 2021 OJK memproyeksi bisnis multifinance tumbuh di kisaran 5% secara year on year (YOY) seiring meningkatnya konsumsi masyarakat yang kembali pulih,sebagaimana disampaikan oleh Ketua Dewan Komisioner OJK Bapak Wimboh Santoso dalam pertemuan tahunan industri jasa keuangan (PTIJK) Tahun 2021.
Berdasarkan data OJK tersebut, jelas terlihat bahwa industri pembiayaan bukanlah industri yang dapat dipandang sebelah mata. Masyarakat sangat membutuhkan industri tersebut untuk memfasilitasi dalam kebutuhan kepemilikan kendaraan. Dengan permintaan pembiayaan dari masyarakat yang semakin meningkat, disinilah membuka peluang bagi investor untuk memberikan investasinya masuk ke Indonesia sehingga industri pembiayaan dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Lalu bagaimanakah dengan kondisi Rasio Kredit Macet atau yang dikenal dengan Non Performing Financing (NPF) di Industri Pembiayaan ?
Rasio NPF perusahaan pembiayaan berdasarkan profil risiko lembaga keuangan pada november 2020 sebesar 4,5% sebagaimana disampaikan oleh Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan logistik OJK Anto Prabowo.
Di kuartal I - 2021 OJK mencatat NPF perusahaan pembiayaan terus membaik sejak awal tahun hingga berada di level 3,74%. Dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya NPF mengalami pemburukan dimana sebelumnya berada di level 2,8%.
Memasuki kuartal II - 2021 NPF beberapa perusahaan pembiayaan masih belum stabil dimana dibeberapa perusahaan masih mengalami peningkatan NPF. Secara industri, Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno optimis bahwa NPF masih akan terus menurun dan berharap kembali ke level seperti sebelum pandemi Covid berlangsung yaitu berada di bawah 2%.
Bagaimanakah peran Jasa Penagihan di dalam perusahaan pembiayaan ?
Jasa penagihan memiliki peran yang sangat besar bagi perusahaan pembiayaan dalam menekan rasio Non Performing Loan (NPF) dan untuk mengembalikan kerugian perusahaan (recovery) yang disebabkan oleh tidak tertagihnya piutang pada saat NPF sehingga harus dibukukan sebagai kerugian dan menjadi piutang hapus buku (Write Off).
Hal inilah yang menyebabkan sampai dengan saat ini perusahaan pembiayaan masih menggunakan jasa pihak ketiga untuk menyelesaikan permasalahan kredit dengan debitur yang masuk kategori NPF dan Write Off, karena dianggap lebih cepat dan efisien dalam penanganannya.
Penanganan debitur bermasalah sebagaimana diketahui tidak semudah membalikkan telapak tangan. Permasalahan - permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan pembiayaan ketika piutang bermasalah sangatlah kompleks. Ambil contoh, Debitur tidak bertempat tinggal lagi di alamat sesuai perjanjian dan tidak memberitahukan alamat barunya (raib), Kendaraan yang menjadi obyek jaminan fidusia dialihkan kepada pihak ketiga tanpa persetujuan Kreditur, Kendaraan yang menjadi obyek jaminan fidusia dikuasai mafia / Ormas, dan masih banyak contoh yang lain.
Sebagian besar Debitur bermasalah sudah tidak dapat dihubungi dan tidak diketahui lagi keberadaannya oleh pihak perusahaan pembiayaan. Sedangkan kendaraan yang menjadi obyek jaminan fidusia juga tidak diketahui lagi keberadaannya bahkan banyak oknum yang berani merubah Nopol yang menjadi identitas kendaraan dengan Nopol yang tidak resmi / tidak tercatat di Kepolisian. Hal ini juga sangat mempengaruhi terhadap pendapatan negara dari sektor pajak, dimana kendaraan yang tidak menggunakan identitas aslinya sudah pasti menunggak pajak akan tetapi tetap menggunakan fasilitas jalan raya yang dibangun dengan menggunakan APBN yang notabene salah satu sumber nya adalah dari pembayaran pajak kendaraan bermotor.
Disinilah pihak jasa penagihan berperan besar dalam mencari / melacak keberadaan Debitur atau kendaraan yang menjadi obyek jaminan fidusia. Di lapangan pihak jasa penagihan memiliki kepanjangan tangan yang biasa disebut sebagai “mata elang”. Saat ini team mata elang sudah tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia. Cara kerja mereka yaitu melacak keberadaan kendaraan yang menjadi obyek jaminan fidusia berdasarkan data - data kendaraan yang disebarkan oleh perusahaan pembiayaan. Kemudian apabila ada kendaraan yang sesuai dengan data pencarian, mereka akan menghubungi pihak perusahaan jasa penagihan yang diberikan tugas oleh perusahaan pembiayaan. Kemudian untuk melaksanakan eksekusi haruslah memenuhi syarat - syarat dan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum dan peraturan perundang - undangan yang berlaku.
Berdasarkan uraian sebagaimana diatas, untuk itu penulis menganggap perlu untuk diadakannya amandemen atau perubahan terhadap Undang - Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia untuk mengatur aturan main dibidang pembiayaan dalam hal tata cara pelaksanaan penagihan dan eksekusi terhadap obyek jaminan fidusia yang sesuai dengan hukum untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum baik kepada pelaku usaha maupun masyarakat pada umumnya serta memberikan sanksi hukum yang seberat - beratnya terhadap pelanggaran yang yang dilakukan khususnya yang ditimbulkan sebagai akibat dari terjadinya kredit macet. (Tim Red)
Penulis : Sebagai Pengacara pada Kantor Hukum DPS Lawfirm