Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
Jakarta-Mediaindonesianews.com: Ribuan anggota Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dari seluruh Indonesia dan perwakilan luar negeri menghadiri Konferensi Nasional dan Kongres VII dari tanggal 4 hingga 8 Desember 2023, bertempat di Gedung Serba Guna 3 Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta Timur.
Kongres yang dihadiri Menteri Tenaga Kerja RI Dr. Hj. Ida Fauziyah, M.Si mengangkat tema "Memperkuat Akar Gerakan Buruh Migran dan Keluarganya dalam Melawan Pemiskinan dan Penindasan melalui Pendekatan Lintas Sektor".
Dalam sambutannya Ida Fauziyah mengatakan berdasarkan data yang dirilis oleh Bank Indonesia, pekerja migran Indonesia menyumbangkan devisa sebesar US$9,71 miliar pada 2022. Jumlah remitansi
tersebut naik 6,01% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebanyak US$9,16 miliar.
"Data ini menunjukkan bahwa sektor pekerja migran menjadi salah satu penyumbang pendapatan bagi Negara, bahkan pada tahun 2021 BMI hanya kalah dari sektor minyak bumi dan gas. BMI berkontribusi pada ekonomi negara-negara tujuan mereka dengan menyediakan tenaga kerja dalam berbagai sektor," katanya, Senin (4/12).
Lebih lanjut Ida menjelaskan bahwa mereka juga memerlukan perlindungan dan dukungan yang memadai untuk memastikan bahwa hak-hak mereka dihormati dan mereka bekerja dalam kondisi yang aman dan manusiawi.
"Selain itu, pengelolaan migrasi tenaga kerja yang baik dapat membantu mengurangi risiko eksploitasi dan pelecehan terhadap pekerja migran," ujarnya.
Sementara itu Ketua DPN SBMI, Hariyanto mengungkapkan bahwa SBMI sebagai gerakan Buruh Migran Indonesia (BMI) selama 20 tahun perjalananya terus memperjuangkan hak-hak buruh migran dan keluarganya, yang berlandaskan prinsip-prinsip pemenuhan hak asasi manusia dan keadilan gender.
"SBMI terus membangun gerakan dari desa sebagai bagian kekuatan untuk melawan penindasan dan pemiskinan buruh migran dan keluarganya yang diakibatkan oleh Industrialisasi dan revolusi hijau adalah dua proyek besar pembangunan yang mendorong adanya kesenjangan ekonomi dan tidak merata pendapatan. Wilayah pedesaan dan pesisir menjadi area kronis dan menanggung beban dampak dari proyek tersebut. Industrialisasi menggerogoti lahan-lahan pertanian produktif, pencemaran laut menggerogoti pendapatan nelayan
kecil pesisir," paparnya.
Menurut Hariyanto revolusi hijau meminggirkan petani “gurem” (mayoritas warga pedesaan) yang lebih berperan dalam intensifikasi pertanian, sehingga hanya petani yang bermodal besar yang bisa turut serta dalam proyek tersebut. Akibatnya terjadi
proletarisasi pedesaan, penyempitan lahan, bagi nelayan kecil pesisir akan semakin sulit untuk meningkatkan perekonomian, sehingga mendorong terjadinya arus migrasi keluar negeri yang masih dipertanyakan perlindungannya.
"Situasi ini mengakibatkan terjadinya warga negara Indonesia untuk bekerja ke luar negeri secara paksa atau migrasi paksa (force migration) yang sangat tinggi dikaitkan dengan sengkarut strategi pembangunan di Indonesia. Kesenjangan ekonomi, tidak
ketersediaan lapangan pekerjaan dan kondisi alam lingkungan yang tercemar
semakin memperburuk situasi. Dengan situasi yang sangat rentan masyarakat
dihadapkan pada pilihan yang pahit, menjadi pengangguran, atau bekerja di dalam negeri (Migrasi Internal) atau bekerja menjadi BMI dengan berbagai risiko di tengah minimnya komitmen perlindungan yang diselenggarakan oleh pemerintah Indonesia," pungkasnya. ** (Leo)